Krian, NU’S Media
Media Resmi Pelajar NU Sidoarjo
Pengasuh Pondok Pesantren Hikmatul Huda, Kedungcangkring, Jabon, Sidoarjo, H Muhammad Sirojul Chakim atau Gus Chakim menjelaskan pentingnya peran IPNU IPPNU sebagai tempat untuk mengisi sebuah hati yang kosong.
Sebab, seringkali pemuda saat ini mengalami kekosongan hati dikarenakan dari ketidak beruntungan dalam hal pekerjaan atau percintaan. Saat ini, banyak sekali fenomena bunuh diri yang didominasi karena tuntutan hidup berupa pekerjaan serta hubungan asmara. Oleh karena itu dibutuhkan tempat untuk mengisinya dengan hal-hal positif seperti kegiatan di IPNU-IPPNU.
“Seperti ikut IPNU-IPPNU yang sebenarnya tidak ada prospek sama sekali, jadi memang ruwet, tapi ketika tidak ikut IPNU-IPPNU rasanya kosong, apalagi pengurus yang belum demisioner, apalagi yang sudah demisioner yang kemudian merindukan kesibukan yang ada di IPNU-IPPNU,” ujarnya saat menyampaikan tausiah dalam Majelis Taklim Pelajar Nahdliyyin (Mata Pena) Jilid 2 Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Sidoarjo, Kedai Dewi Pandawa, Krian, Selasa (27/02/2024).
Menurutnya, IPNU IPPNU dapat menjadi tempat untuk belajar bersosialiasi dan melatih rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang di sekitarnya.
“Karena hidup tidak hanya tentang pekerjaan atau percintaan saja, kita masih bisa cari hal lain seperti yang diajarkan di IPNU IPPNU dengan menjaga kualitas original di dalam diri sendiri,” tuturnya.
Gus Chakim mengatakan kosongnya hati merupakan kebahagiaan hati itu sendiri. Sebab kosongnya hati berarti tidak banyak keinginan yang ingin dicapai. Dengan begitu dapat menekan perasaan stress atau khawatir yang berlebihan terhadap sesuatu yang belum tentu akan terjadi.
“Ketika hati kita kosong, berarti kecil kemukinan untuk berharap karena tidak punya keinginan tertentu, sebab tidak ada sesuatu yang dapat kita pastikan, kehidupan kita masih dinamis semuanya masih dapat berubah,” katanya.
Gus Chakim menyampaikan bahwa keputusan untuk mengikuti sebuah organisasi adalah bentuk meleburkan diri, untuk mempersembahkan jiwa ini untuk melayani orang lain dalam kebaikan. Masalah kosongnya jiwa adalah bagaimana kita mengatur fikiran agar tidak hanya terfokus pada materi.
“Fenomena tentang jiwa yang sepi dalam metode tasawuf yang memang soal agama yang masuk dalam rasa. Kosongnya hati itu sebenarnya tentang tujuannya mau kemana, apa yang diingin dan apa yang dirasakan, hidup kita seperti autopilot, waktu makan ya makan, waktunya tidur ya tidur,” terangnya.
Seperti yang terjadi dalam IPNU IPPNU yang seharusnya perjuangan tauhid yang praktiknya dibuat fleksibel. Sering kali kosongnya jiwa yang berawal dari kekecewaan karena harapan yang terlalu terbatas, harapan yang terlalu naif dan cepat terwujud.
Yang sering kali dilupakan adalah realita kita sekarang yang terjadi sering berlawanan dengan dunia digital yang banyak informasi, tentang bagaimana cara membatasi diri dan juga memberikan batasan kepada orang lain.
“Cerdas menyikapi sebuah fenomena, jangan berlebihan ketika ada sebuah komentar jelek dari setiap kebaikan yang kita jalani,” tandasnya.
Lebih lanjut, Gus Chakim menerangkan bahwa majelis seperti ini dapat kita poles dengan menarik, akan tetapi bukan tentang seberapa menarik sebuah perkumpulan, tapi seberapa konsisten. Siklus organisasi yang penting dilakukan diberi sesuai ukuran yang normal, dapat berjalan merupakan kenikmatan. Sesuai dengan kita yang merasakan.
“Inilah cara interaksi kita dengan orang lain dipermudah dengan adanya berbagai perangkat teknologi. Sebenarnya hidup ini rumusnya mudah, saat kemudian kita dapat focus menghargai orang lain dan kita juga akan dihargai. Hidup harus terus berlanjut, ingat sampai kapanpun kita ada potensi untuk berubah,” pungkasnya.
(my)